Terungkap! Produk Mengandung Babi Bersertifikat Halal, Ini Imbauan untuk Umat Muslim Tim Redaksi, 26 Mei 202526 Mei 2025 Jakarta, KAHMISULSEL.OR.ID – Fakta mencengangkan terungkap dari hasil investigasi bersama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini.Sebanyak sembilan produk olahan pangan yang beredar di pasaran dinyatakan mengandung unsur babi (porcine) berdasarkan uji laboratorium menggunakan metode deteksi DNA dan peptida spesifik porcine.Yang lebih mengejutkan, tujuh dari sembilan produk tersebut telah mengantongi sertifikat halal. Menindaklanjuti temuan tersebut, BPJPH menjatuhkan sanksi tegas berupa penarikan produk dari peredaran.Sementara dua batch produk lainnya yang tidak memiliki sertifikat halal ternyata juga memalsukan data saat proses registrasi. BPOM pun telah mengeluarkan peringatan keras serta instruksi penarikan dari pasar.Mengapa Produk Haram Bisa Lolos?Peristiwa ini memunculkan kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat Muslim Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.Banyak pihak mempertanyakan bagaimana mungkin produk haram bisa lolos sertifikasi halal dan masuk ke rak-rak toko tanpa terdeteksi sejak awal.Fenomena ini menyoroti persoalan mendasar dalam sistem pengawasan dan regulasi pangan, serta ketidaktegasan dalam menjadikan standar halal sebagai syarat mutlak dalam industri makanan.Di balik semua itu, tersimpan persoalan yang lebih besar, yakni dominasi sistem ekonomi kapitalisme-sekuler yang kerap mengabaikan aspek moral dan nilai-nilai agama.Kapitalisme-Sekuler dan Pengabaian Nilai Halal-HaramBACA: Ni'matullah: KAHMI Independen, Tidak Ada Kubu-Kubuan di Pilkada!Sistem kapitalisme-sekuler memisahkan agama dari kehidupan publik, termasuk urusan ekonomi dan bisnis. Dalam sistem ini, aspek halal-haram tak menjadi prioritas—yang utama adalah keuntungan semata. Tak heran bila prinsip kehati-hatian dalam produksi pangan sering dikorbankan demi efisiensi dan profit.Akibatnya, masyarakat Muslim menghadapi risiko besar terhadap masuknya produk-produk yang secara syariat tidak layak dikonsumsi. Ini menjadi ironi bagi negeri dengan label “negara Muslim terbesar di dunia”.Padahal, dalam Islam, makanan bukan hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga berdampak pada kebersihan jiwa, diterimanya ibadah, hingga keberkahan hidup.“Katakanlah, ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan, kecuali bangkai, darah, daging babi…'” (QS. Al-An’am [6]: 145)Allah SWT juga memerintahkan umat manusia agar hanya mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah [2]: 168.Bahaya Konsumsi Produk HaramKonsumsi makanan haram tidak hanya berdampak pada aspek spiritual, tetapi juga pada kualitas moral dan sosial umat. Rasulullah SAW telah memperingatkan bahwa makanan haram dapat menjadi penghalang terkabulnya doa, menggelapkan hati, dan menyuburkan perilaku maksiat.Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah menceritakan seorang lelaki yang berdoa kepada Allah namun tidak dikabulkan karena makanannya berasal dari sumber yang haram.BACA: Sabtu Besok, KAHMI Sulsel Gelar FGD, Bahas Banjir dan Tanah Longsor di Sulsel“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak baginya.” (HR ath-Thabarani)Selain babi, Islam juga melarang konsumsi alkohol dan zat adiktif lain yang dapat merusak akal—unsur yang sangat dijaga dalam Islam sebagai fondasi kesadaran beragama dan tanggung jawab sosial.Solusi Bukan Sekadar Pengawasan, Tapi SistemikMeski BPJPH dan BPOM telah mengambil langkah tegas, kejadian ini menunjukkan bahwa pengawasan semata tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perombakan sistemik.Persoalan mendasar terletak pada sistem ekonomi dan pemerintahan yang tidak menjadikan halal-haram sebagai standar baku dalam produksi dan distribusi barang.Dalam sejarah peradaban Islam, tanggung jawab menjaga kehalalan makanan menjadi bagian penting dari peran negara.Para khalifah, sejak masa Rasulullah SAW hingga era Khulafaur Rasyidin, bahkan membentuk lembaga seperti Qadhi Hisbah untuk mengawasi pasar, mencegah penipuan, serta menjamin kehalalan dan kebersihan produk makanan.Sistem Khilafah Islam pada masa lalu memfilter ketat produk impor dan lokal sebelum beredar di masyarakat. Negara Islam tidak akan bekerja sama dengan pihak mana pun yang dapat membahayakan umat, termasuk dalam hal konsumsi makanan dan minuman.Masyarakat Juga Harus WaspadaDi tengah ketidaksempurnaan sistem pengawasan saat ini, umat Islam juga dituntut untuk lebih cermat dan waspada dalam memilih produk yang dikonsumsi.BACA: Peran dan Dinamika KAHMI dalam Politik KebangsaanHindari makanan dan minuman yang tidak memiliki kejelasan kehalalan. Jika ragu, lebih baik tinggalkan.“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)Peristiwa ini menjadi pengingat serius bagi kita semua. Menjamin kehalalan bukan hanya tugas BPJPH atau BPOM, melainkan tanggung jawab kolektif: dari pemerintah, produsen, hingga masyarakat sebagai konsumen.Namun, untuk benar-benar menjamin kehidupan halal yang menyeluruh, diperlukan sistem pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam setiap aspek kehidupan.Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []Tim RedaksiJangan Lewatkan:KAHMI Pinrang 2021–2026 Resmi Dilantik, Siap Bersinergi Bangun Daerah di Era DisrupsiMasa Depan Gerakan Keummatan di Indonesia di Era Presiden Prabowo SubiantoSabtu Besok, KAHMI Sulsel Gelar FGD, Bahas Banjir dan Tanah Longsor di SulselNi'matullah: KAHMI Independen, Tidak Ada Kubu-Kubuan di Pilkada!