Opini Ni’matullah: Menggagas Otonomi Provinsi Tim Redaksi, 13 Oktober 202513 Oktober 2025 Opini lawas yang ditulis Ni’matullah sebagai Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan di harian Fajar edisi Selasa, 16 Mei 2017, Halaman 06DALAM 2 (dua) tahun terakhir, sebagai bangsa, hampir sebagian besar kita terjebak hanya merespons dan peduli terhadap persoalan dan masalah yang diproduksi rezim pemerintah pusat dan orang-orang Jakarta, sehingga kita cenderung lupa dan kurang peduli sejumlah agenda dan perkembangan regional, nasional, dan internasional.Salah satu agenda penting yang semestinya hangat dan diseriusi diskursusnya adalah soal desentralisasi dan otonomi daerah.Hal ini penting mengingat program reformasi yang kita tempuh sejak tahun 1998 merupakan koreksi fundamental terhadap model pemerintahan pusat yang sentralistik dan otoriter pada era orde baru.Namun, setelah sejumlah perdebatan dan wacana yang serius dan beradab, dengan pertimbangan sejarah perjalanan pemerintahan kita dan tuntutan menjaga keutuhan NKRI, maka saat itu yang dianggap relevan serta sesuai tuntutan zaman, adalah otonomi daerah dengan titik berat pemerintahan kabupaten/kota.BACA: Bayangkan Muka Walid; Kultus Personal dan Manipulasi RitualJadi, otonomi kabupaten/kota adalah “jalan tengah” yang dipilih saat itu. Hal tersebut, kemudian dituangkan dan dikomodasi dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999, lalu direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan pada Tahun 2014 (UU Nomor 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah.Undang-undang tersebut kini telah berumur sekitar 18 (delapan belas) tahun, atau tidak lama lagi sudah berjalan selama 20 (dua puluh) tahun.Menurut saya, sistem atau model apapun bila telah berjalan 20 (dua puluh) tahun harus dievaluasi dan dikoreksi mendalam agar tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan.Mari kita periksa fakta-faktanya. Setelah berjalan 18 tahun, dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, ternyata otonomi kabupaten/kota hanya melahirkan sekitar 20 (dua puluh) kabupaten/kota yang tergolong maju dengan jumlah kepala daerah yang berintegritas, selebihnya justru menambah deretan kasus korupsi.Lalu, berdasar data-data, baik BPS maupun Bappenas, ketimpangan antarwilayah memang sangat tinggi dan terlihat nyata dari angka Gini Ratio dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).BACA: Makna Filosofis dan Spiritual Ibadah Kurban: Integrasi Antara Ketaatan Ritual dan Etika SosialSementara itu, tahun 2015, dengan efektif berlaku tahun 2017, kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sayangnya, dalam percaturan ekonomi kawasan ini, posisi daerah-daerah kita di luar Jawa nyaris tidak dianggap karena tidak ada kekuatan yang signifikan di tingkat regional.Karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin menggagas agar sistem otonomi pemerintahan daerah seyogyanya dievaluasi, dengan alternatif kemungkinan menguatkan otonomi provinsi.Sekurang-kurangnya, pemerintah pusat dan DPR perlu memikirkan untuk menata kembali relasi pusat dan daerah, dengan memperkuat posisi provinsi.Pertama, otonomi kabupaten/kota yang telah berjalan selama 18 tahun, relatif belum efektif dan banyak mengalami stagnasi serta jalan di tempat, kecuali beberapa daerah tertentu.Kedua, dengan memperkuat otonomi provinsi, maka relasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih efektif karena pengambilan keputusan akan lebih cepat dan responsif terhadap kebutuhan publik.BACA: Penyebab Kesombongan, Bahaya dan Cara MengatasinyaKetiga, situasi sosial politik saat ini jauh berbeda dengan dua dekade lalu. Kita sudah cukup matang berdemokrasi, informasi semakin terbuka, dan sistem pengawasan publik semakin kuat.Dengan demikian, kekhawatiran akan munculnya sentralisasi baru di tingkat provinsi dapat ditekan melalui mekanisme akuntabilitas publik yang kuat.Sudah saatnya kita menatap ke depan, menata ulang sistem otonomi daerah agar lebih adaptif terhadap dinamika zaman dan kebutuhan masyarakat.Gagasan otonomi provinsi bukan untuk mengerdilkan kabupaten/kota, tetapi untuk memperkuat efektivitas pemerintahan daerah dan daya saing bangsa dalam percaturan global. (*)Jangan Lewatkan:Ujub, Penyakit Hati yang Menggerogoti KeikhlasanRefleksi Filosofis Qurban: Menjalin Kebersamaan dan Menguatkan KetakwaanAksi Massa dan Alarm Kepemimpinan: Membaca Kejanggalan BernegaraFraming Media, Struktur Politik, dan Ancaman Anarkhi di Indonesia