Menjaga Amanah di Dunia, Menyelamatkan Catatan di Akhirat Tim Redaksi, 11 Agustus 202511 Agustus 2025 Oleh: Munawir KamaluddinPERNAHKAH kita duduk sendirian di malam yang sunyi, membiarkan hati berbicara tanpa topeng dan pencitraan?Jika seluruh uang yang mengalir di rekening kita diperiksa di hadapan Allah hari ini, adakah satu rupiah pun yang membuat kita malu mengakuinya?Jika jabatan yang kita pegang diputar ulang seluruh rekam jejaknya di hadapan manusia, adakah bagian yang ingin kita sembunyikan?Dan jika malaikat maut datang mengetuk tanpa memberi waktu bersiap, beranikah kita berkata: “Ya Allah, aku telah menjaga amanah-Mu dengan setulus hati”?Pernahkah kita bertanya pada nurani kita: untuk siapa sebenarnya saya bekerja? Apakah untuk kepuasan diri, penghormatan manusia, atau demi ridha Allah SWT?Saat kita menerima gaji, tunjangan, atau fasilitas dari jabatan yang kita pegang, apakah kita yakin semuanya murni dari kerja yang halal, bersih dari hak orang lain?Apakah amanah yang kita pegang kita anggap titipan suci yang harus dijaga, atau hanya peluang untuk mengambil sebanyak mungkin sebelum masa jabatan berakhir?Jika suatu hari Allah SWT menanyakan titipan itu, adakah kita mampu menjawab dengan jujur?Dan yang paling menakutkan, jika ada satu keluarga miskin atau karyawan pas-pasan yang tidak bisa makan karena haknya tertahan di meja kita, sanggupkah kita memikul dosanya di hadapan Allah?Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:BACA: Opini Ni'matullah: Menggagas Otonomi Provinsi“وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ”“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil” (QS. Al-Baqarah: 188)Larangan ini bukan sekadar mencuri secara terang-terangan, tapi mencakup segala bentuk perampasan yang dibungkus tanda tangan resmi, angka di laporan, atau “hadiah” yang tampak manis di luar namun racun di dalam.Fenomena yang Menyamar dalam Wajah TerhormatIstilah “tikus kantor” atau “tikus berdasi” sering kita dengar. Namun ia bukan hanya tentang pejabat tinggi atau orang berseragam, melainkan sifat rakus yang bisa menyelinap ke hati siapa saja yang diberi amanah mengelola milik bersama.Kadang ia bersembunyi di kantor pemerintahan, kadang di perusahaan swasta, kadang di lembaga pendidikan, bahkan tak jarang di lembaga keagamaan.Inilah wajah korupsi yang licik: tidak selalu kumuh dan kotor. Kadang ia datang dengan parfum mahal, jas rapi, dan senyum meyakinkan. Tetapi di baliknya, ada tangan yang mengambil hak orang banyak untuk kepentingan pribadi.Akar Penyakit: Cinta Dunia dan Lupa AkhiratRasulullah SAW bersabda:“حب الدنيا رأس كل خطيئة” “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan” (HR. Baihaqi)Ketika cinta dunia bertakhta di hati, ia menggerakkan pikiran mencari pembenaran, lidah mencari alasan, dan tangan meraih yang bukan haknya.Penyakit ini berawal dari lalai mengingat akhirat, dari merasa aman karena belum tersentuh hukum manusia, dan menganggap bahwa selama tidak ketahuan, semuanya halal.BACA: Analisis Holistik dan Komprehensif Menelusuri Tanda-Tanda Haji MabrurPadahal Allah telah berfirman:“إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ” “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (QS. Al-Fajr: 14)Manusia bisa kita kelabui, tapi mata Allah tidak pernah tertutup, dan catatan malaikat tidak pernah salah tulis.Jalan Menuju Kejatuhan: Dosa Kecil yang DibiarkanKorupsi besar hampir selalu bermula dari pelanggaran kecil yang dianggap sepele.Hari ini membawa pulang barang kantor tanpa izin, besok memanipulasi laporan sedikit saja, lusa menerima “ucapan terima kasih” dari vendor. Tanpa sadar, tangan kita terbiasa mengambil hak orang banyak.Rasulullah SAW memperingatkan:“إياكم ومحقرات الذنوب، فإنهن يجتمعن على الرجل حتى يهلكنه” “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa itu akan berkumpul hingga membinasakan pelakunya” (HR. Ahmad)Dosa kecil adalah gerbang dosa besar. Jika hati tidak segera diingatkan, ia akan menganggap kezaliman sebagai kelaziman.Jalan Pulang: Menjaga Amanah sebagai Bekal SurgaNabi SAW bersabda:“كلكم راعٍ وكلكم مسؤول عن رعيته” “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim)Menjaga amanah bukan hanya kewajiban moral, tapi ibadah yang akan menentukan nasib kita di akhirat.Jalan pulang dimulai dengan muraqabah — kesadaran penuh bahwa Allah selalu melihat. Dilanjutkan dengan muhasabah — menghitung diri setiap hari sebelum Allah menghitung kita. Dihiasi dengan qana’ah — merasa cukup dengan rezeki halal, berapa pun jumlahnya.BACA: Dengki, Penyakit Hati yang Menghancurkan Kebaikan dan KeharmonisanImam Ali RA berkata:“القناعة مال لا ينفد” “Qana’ah adalah kekayaan yang tidak akan pernah habis”Kesepian di Jalan LurusMenjaga amanah mungkin tidak ramai, tidak penuh sorak pujian, bahkan kadang terasa sepi.Namun, itulah jalan yang lurus. Jalan yang memberi kita tidur nyenyak, hati yang ringan, dan wajah berseri di hadapan Allah.Pada akhirnya, bukan banyaknya harta yang kita bawa mati, tapi seberapa bersih catatan kita ketika dipanggil kembali.Karena itu, mari bermunajat kepada Allah, memohon kekuatan untuk terus menjaga amanah di dunia, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat.اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَيْدِيَنَا نَقِيَّةً، وَقُلُوبَنَا نَزِيهَةً، وَعَمَلَنَا أَمَانَةً، وَخَاتِمَتَنَا حُسْنَى“Ya Allah, jadikan tangan kami bersih, hati kami jujur, pekerjaan kami amanah, dan akhir hidup kami husnul khatimah.”#Wallahu A’lam Bis-Sawab 🙏Jangan Lewatkan:Membongkar Bahaya dan Hukum Syariah Judi OnlineSilaturahmi, Kunci Harmoni dan Keberkahan HidupUjub, Penyakit Hati yang Menggerogoti KeikhlasanDengki, Penyakit Hati yang Menghancurkan Kebaikan dan Keharmonisan